Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kehadirat Allah SWT dan junjungan kita nabi Muhammad SAW saya atas nama keluarga besar Keraton Sambaliung mengucapkan terima kasih banyak atas terbitnya kembali tulisan saya di "Majalah Sakinah" yang syarat dengan ilmu pengetahuan, inspiratif dan mendidik. Semoga bermanfaat bagi semua pembaca diseluruh Indonesia tercinta. Jika ingin membaca dan mendapatkan informasi bermanfaat dari "Majalah Sakinah" bisa melalui http://www.sakinahpenyejukjiwa.com dan toko buku terdekat di kota anda. Jangan lupa untuk memiliki majalahnya.
Kamis, 17 November 2016
Rabu, 09 November 2016
Senin, 17 Oktober 2016
Trah Kesultanan Sambaliung
Susunan Trah Kesultanan Sambaliung dari Sultan pertamanya hingga Sultan terakhirnya yang memiliki anak sebanyak 33 orang namun sekarang tersisa 10 saja lagi. Putra dan Putri Keraton Kesultanan Sambaliung tersebut dua diantaranya sebagai Pemangku Kesultanan Sambaliung.
Sabtu, 03 September 2016
Dua Pemangku Kesultanan Sambaliung
"Dua Pemangku Kesultanan Sambaliung"
Keduanya merupakan anak dari Sultan Muhammad Aminuddin 1902 -1960 (Sultan Terakhir Sambaliung). Kedua kakak beradik ini masih memiliki delapan (8) orang lagi saudaranya. Diantara 10 anak Sultan Muhammad Aminuddin ada 4 orang Putri dan 6 orang Putra Keraton Sambaliung.
Jumat, 02 September 2016
AMPIK SALAYANG
☆ PAKAIAN ADAT PENGANTIN AMPIK SALAYANG ☆
Asal mula hadirnya "PAKAIAN ADAT PENGANTIN AMPIK SALAYANG" atau dalam bahasa Indonesia artinya "kain/sarung selembar" ini bermula dari kisah Raja Alam (Sultan Alimuddin) Sultan pertama di Kerajaan Sambaliung thn 1810-1834 kemudian melanjutkan pemerintahan kembali setelah dibuang ke Makssar thn 1837-1844. Saat masa pembuangan bersama istrinya di Makassar Raja Alam tidak membawa barang-barang Kerajaan dan pakaian kebesarannya. Karena rasa cinta dan kasih kepada suaminya Raja Alam maka istrinya yang bernama Andi Nantu memberikan hadiah berupa kain sutra sepanjang 7 m yang berwarna kuning. Seperti kita ketahui bersama bahwa warna kuning adalah lambang kejayaan, keagungan dan kemegahan. Sebagai manifestasi kekaguman terhadap suaminya yang gagah berani berjuang melawan penjajah demi harga diri membela kebenaran. Untuk mengenang Raja Alam kain tersebut dinamakan "Ampik Raja Alam" karena kain tersebut adalah kain kesayangan Raja Alam. Kain itu disimpan dengan baik oleh Raja Alam demi menghargai pemberian istrinya. Ketika Sultan Salehuddin sebagai Sultan ke V thn 1863-1869 ingin menikahkan putrinya namun saat itu Kesultanan Sambaliung belum memiliki busana adat pengantin. Akhirnya keturunan dari Andi Nantu (istri Raja Alam) memberikan kain/sarung selembar milik Raja Alam tersebut kepada cucu Raja Alam yaitu Pangian Bungsu saat akan melangsungkan pernikahan. Maka dibuatlah kain/sarung selembar milik Raja Alam tsb menjadi pakaian adat pengantin Kesultanan Sambaliung sebagai penghormatan kepada nenek moyangnya. Kain/sarung selembar yang sudah menjadi pakaian adat pengantin itu dikenal dengan nama "AMPIK SALAYANG". Itulah kenapa AMPIK SALAYANG tidak dikenakan oleh semua orang Berau/Banua saat melangsungkan pernikahan karena pakaian adat pengantin Kerajaan Sambaliung tsb memiliki nilai kesakralan dan filosofi yang tinggi. Kami seluruh kerabat Kesultanan Sambaliung selalu mengenakan pakaian tsb saat melangsungkan pernikahan. By @Datu Edy Sambaliung
Senin, 29 Agustus 2016
Pemangku Kesultanan Sambaliung
Zaman sudah bukan lagi masa Kesultanan dimana sistem feodalisme tidak lagi berlaku namun saat ini tugas dari seorang Pemangku Kesultanan sangatlah penting sebagai barometer kita untuk melestarikan budaya dan adat-istiadat di ruang lingkup Kesultanan yang pastinya sangatlah dipahami oleh anak-anak Sultan.
Sabtu, 23 Juli 2016
PIN CINDERAMATA
Ini adalah sebagian dari "pin" yang kami terima selama mengikuti acara-acara Festival Keraton Nusantara diberbagai daerah dan masih ada beberapa lagi yang ga sempat saya sertakan di kain kuning.
Kamis, 11 Februari 2016
Arti kata Sambaliung
Arti kata "SAMBALIUNG"
SAMBA artinya SEMBAH dan LIUNG artinya TINGGI
Maknanya adalah "Menyembah Yang Maha Tinggi "
Rabu, 10 Februari 2016
Sejarah Perpecahan Dua Kerajaan di Berau
Pada awalnya bernama Kerajaan Berau, Raja Berau yang pertama adalah Baddit Dipattung dengan gelar Aji Surya Nata Kusuma 1377-1401. Lalu pada permulaan abad ke XVII pergantian Raja secara teratur dari ayah kepada anak spt yg terjadi 9 generasi terdahulu tdk terbagi lg. Karena Aji Dilayas Raja ke IX berputra dua orang Pangeran yg berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Sesudah Aji Dilayas mangkat kedua pangeran ini masing-masing didukung keluarga ibunya bersikeras mau menjadi raja. Akhirnya dengan keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya keturunan mereka bergantian menjadi raja. Hingga akhirnya sampai pada Raja Alam (Sultan Alimuddin ) putera Sultan Amiril Mukminin turunan Pangeran Tua. Ketika giliran Raja Alam terjadi kericuhan sebab turunan Pangeran Dipati sudah 5 kali mendapat giliran sebagai Raja sedang turunan Pangeran Tua baru 4 kali. Suasana menjadi tegang hal ini memicu terjadinya insiden dibeberapa tempat. Setiap musyawarah kerajaan dan kedua keluarga dalam penetapan giliran selalu timbul persengketaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup kedua keluarga ini. Lalu diputuskan untuk membagi wilayah atas dua Kesultanan. Yaitu sebelah Utara sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II ) kemudian sebelah Selatan sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerajaan Sambaliung diperintah oleh Raja Alam (Sultan Alimuddin ). Kedudukan pemerintah di Muara Bangun dipindahkan. Sultan Aji Kuning II memilih Gunung Tabur yg terletak disebelah kanan Muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya. Sultan Alimuddin ( Raja Alam ) memindahkan pusat pemerintahannya di kampung Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay disebut Tanjoeng. Sesuai dengan keputusan Seminar Hari Jadi Kota Tanjung Redeb tahun 1992 peristiwa itu terjadi pada tanggal 15 September tahun 1810 yang selalu diperingati di Berau setiap tahun sebagai Hari Jadi Kota Tanjung Redeb. Sultan Alimuddin inilah Sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama Kerajaan Sambaliung. Dulu posisi istananya ada di Tanjung dekat Muara kanan sungai Kelay tetapi dibakar dan dihancurkan oleh Belanda. Setelah kerajaan Berau terbagi dua, kedua Kesultanan ini hidup berdampingan secara damai, karena mereka sadar bahwa mereka berasal dari satu rumpun keluarga besar Aji Surya Nata Kusuma. Kesultanan Sambaliungpun membangun istananya kembali. Hanya penulis-penulis sejarah Belanda membesar-besarkan perbedaan pendapat antara kedua Kesultanan itu sesuai dengan politik adu domba demi suksesnya penjajahan mereka. Jadi saat perpecahan terjadi bukan karena campur tangan Belanda justru setelah perpecahan tsb Belanda berusaha ingin menghancurkan keduanya.
Wisata Sejarah Keraton Sambaliung
Destinasi "Wisata Sejarah"
☆ KERATON SAMBALIUNG ☆
Sepanjang perjalanan sejarahnya "Keraton Sambaliung" ini dibangun sekitar tahun 1930-an menghadap sungai Kelay. Pembangunan ditahun 1930-an di bagian depan seperti nampak pada gambar Photo hitam putih karena sebelumnya bagian tengah dan belakang sudah berdiri jauh sebelum tahun 1930-an tsb. Bangunan ini berciri arsitektur China karena memang merupakan bangunan lama. Tiang-tiang dan kayunya berbahan ulin yang kuat dan kokoh. Sehingga masih tegak berdiri hingga detik ini di Kecamatan Sambaliung. Keraton Sambaliung ini bukan museum karena tidak banyak benda peninggalan kerajaan di dalamnya oleh sebab itu disebut dengan "keraton". Dulu Sultan Sambaliung mendiami keraton ini sebagai tempat untuk menjalankan semua aktivitas sehari-hari sebagai Sultan. Hingga sampai Sultan terakhirnya yaitu Sultan Muhammad Aminuddin 1902-1960. Keraton ini juga sempat terkena serangan bom sekutu pada 23 April tahun 1945 menjelang sholat dzuhur, namun setiap bom yang dijatuhkan ke arah keraton selalu terlempar ke samping dan ke depan sungai sebaliknya keraton Gunung Tabur hancur dan terbakar menyisakan tiang-tiang hangus di area keratonnya. Sejak insiden tsb keraton Sambaliung masih ada sampai dengan sekarang sebagai saksi bisu sejarah perjalanan para Sultan yang dulu pernah ada disana. Setelah sekian tahun masa Kerajaan /Kesultanan berakhir para anak-anak Sultan Muhammad Aminuddin masih menempati keraton tersebut hingga Pemda Berau membuatkan rumah bangsalan di belakang keraton. Hal ini bertujuan supaya Keraton Sambaliung dapat terus dilestarikan dan dijaga sebagai peninggalan sejarah kerajaan dan sebagai bukti kejayaan masa lalu agar masih bisa disaksikan hingga saat ini.
Dua Tugu Prasasti Aksara Bugis dan Arab Melayu
Destinasi "WISATA SEJARAH"
DUA TUGU PRASASTI
Ini adalah dua tugu yang sebelumnya berdiri di depan arah menuju masuk ke dalam Keraton Sambaliung. Awalnya berdiri di depan namun mengingat perlunya melestarikan peninggalan sejarah akhirnya kedua tugu tsb dipindahkan ke samping Keraton Sambaliung dan dibuatkan wadah khusus agar terlindungi dari panas dan hujan. Menurut berita ayah dari Pangeran Petta yaitu Petta To Rawe yang menuliskan Piagam Aksara Bugis pada Gerbang Istana Keraton Sambaliung tsb.
Kida-kida
Kida-kida adalah hiasan yang terbuat dari lempengan kuningan berbentuk daun digunakan sebagai aksesoris dalam melengkapi keindahan singasana atau pelaminan pernikahan. Hiasan ini biasanya digantung pada kain kuning yang menempel di singgasana atau pelaminan dengan memberi jarak antara satu dengan yang lain. Makna yang dapat kita tangkap dari hiasan ini adalah melambangkan kebersamaan dan keteraturan karena susunannya yang rapi dan cantik. Di dalam keluarga keraton Sambaliung kebiasaan menghiasi singasana dan pelaminan ini sudah berlangsung dari jaman dulu setiap mengadakan acara. Selain acara pernikahan adapula yang menghias menggunakan kida-kida ini saat acara naik ayun anak bayi yang baru lahir dikalangan keluarga Kesultanan Sambaliung.
Pemberian Gelar Kepada Gubernur Kaltim
Late post 》Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur memberikan gelar kepada bapak H. Awang Faroek Ishak selaku Gubernur Kalimantan Timur karena jasa dan pengabdian beliau. Pada tanggal 18-September-2011 saat momentum memperingati Hari Jadi Kota Tanjung Redeb ke-201 dan Kabupaten Berau ke-58. Gelar yang diberikan yaitu " Aji Datu Suraraja", acara ini berlangsung di Keraton Kesultanan Sambaliung. Dahulu sejak jaman Sultan pemberian gelar kepada seseorang yang dianggap berjasa dan menyumbangkan kontribusi yang baik terhadap Kesultanan biasanya mendapatkan gelar dari Raja/Sultan hanya saja gelar tersebut tidak berlaku untuk anaknya cukup kepada ayahnya saja. Jadi anak orang yang diberi gelar tidak dapat memakai gelar ayahnya di depan namanya. Di Kesultanan Sambaliung sendiri ada beberapa orang yang mendapatkan gelar itu bahkan diangkat menjadi penasehat dan punggawa Raja/Sultan. Namun untuk jaman modern sekarang ini pemberian gelar itu lebih kepada orang-orang yang telah banyak berjasa dalam pembangunan suatu daerah spt Gubernur, Bupati misalnya sesuai dengan prestasi dan kinerjanya.
Minggu, 31 Januari 2016
Nama anak-anak Sultan Muhammad Aminuddin
Ini adalah nama anak-anak Sultan Muhammad Aminuddin (Sultan terakhir di Kesultanan Sambaliung ) salah satu nama dari urutan tersebut terdapat nama ayahanda ku Datu Fachruddin. Beliau adalah Pemangku Kesultanan Sambaliung yang pertama ketika awal tahun 2003 s/d 2013 sudah mulai mengikuti kegiatan FSKN (FORUM SILATURAHMI KERATON NUSANTARA ) diberbagai daerah di Indonesia yang bertujuan mengapresiasi para anak-anak Sultan sebagai penghargaan atas apa yang telah dilakukan oleh Sultan-Sultan terdahulu dengan mempererat tali persaudaraan antar sesama kerabat Kesultanan yang ada diseluruh tanah air. Karena kehadiran Indonesia dibumi pertiwi ini sangat erat kaitannya dengan perlawanan para Raja/Sultan kepada penjajah di seluruh daerah yang tersebar diberbagai tempat. Inilah makna dari suatu keagungan akan kekerabatan. Jejak langkah ayahanda Datu Fachruddin melestarikan budaya tertanam dalam semangatku sejak awal pertama ikut FSKN di Solo tahun 2006 hingga 2013 akhir dari jabatan beliau. Kedudukan sebagai Pemangku Kesultanan Sambaliung sekarang dilaksanakan oleh adiknya yaitu Datu Amir. Sekarang ini banyak pemilik blog, sosial media yang dikelola berkaitan dengan informasi Kesultanan Sambaliung & Gunung Tabur isinya tidak valid dan tidak ada legitimasi dari pihak kerabat dekat Kesultanan. Padahal anak-anak Sultan yang notabene tahu persis sejarahnya sendiri tidak pernah dikonfirmasi. Mereka memuat informasi yang salah dan mengarah kepada pembohongan publik sehingga masyarakat dibuat bingung.
Sabtu, 30 Januari 2016
SULTAN ALIMUDDIN(RAJA ALAM) MENGUKIR SEJARAH DI TANAH BERAU MELAWAN KOLONIAL BELANDA
Raja Alam merupakan gelar yang biasa disebut kepada Sultan Alimuddin sebagai Sultan Sambaliung pertama (1810-1834) generasi ke XIII dari Aji Suryanata Kesuma Raja Berau pertama (1377-1401) dan putra dari Sultan Amiril Mukminin Raja Berau ke XVII. Inti dari kerajaan Berau dibagi menjadi dua yaitu Tanjung dan Batu Putih diperintah oleh Raja Alam turunan Pangeran Tua dan Sultan Aji Kuning II (Gunung Tabur) turunan Pangeran Dipati wilayahnya Merancang, Bulalung dan Bunyut. Raja Alam mendirikan Ibu Kota Kerajaan dan Pemerintahan tersendiri berpisah dari Kerajaan Berau dengan nama Kerajaan Tanjung pada tahun 1810. Tanjung yang dijadikan Ibu Kota Kerajaan dulunya kampung Gayam dan Karang Embun sisa-sisa kampung Nagri Swakung dengan kepala Nagrinya bernama Si Patungut gelar Kahar Janggi dan wakilnya Si Balaman gelar Kahar Pahlawan.
Secara beramai-ramai dan gotong-royong Raja Alam bersama rakyatnya membangun istana kediamannya. Pendukung-pendukungnya ialah turunan Maharaja Laila saudara neneknya yaitu Sultan Hasanuddin Marhum di Kuran, mertuanya Pangeran Petta turunan Raja Paniki, Panglima La Ma’du Daeng Palawa turunannya Panglima Lambuto yang mendirikan kampung Bugis di Tanjung Redeb.
Dari keluarganya di kepulauan Sulu / Solok daerah Mindanao Selatan, Raja Alam mendapat bantuan menantunya dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda bernama Syarif Dakula yang menikah dengan putrinya yaitu Pangian Ratu Ammas Mira. Sebelumnya kakek dari Raja Alam sendiri yang bernama Sultan Hasanuddin (1676-1700) merupakan Raja Berau ke XIII menikah dengan Dayang Lana seorang putri dari Kerajaan Sulu (Mindanao Selatan).
Untuk menghadapi ancaman dari Pemerintah Kolonial Belanda yang telah melakukan serbuan terhadap raja-raja Sulawesi Selatan pada tahun 1824, Raja Alam bersiap-siap dengan mendirikan kubu-kubu pertahanan di Dumaring dan Batu Putih di daerah Tanjung Mangkalihat.
Kolonial Belanda tidak berhasil melaksanakan system monopoli dagang dan tidak sebuah pun loji atau perwakilan dagang mereka dirikan di Kalimantan Timur, meskipun empat kali kompeni mencoba mengirimkan misi perdagangan mendekati raja-raja di daerah itu tetapi selalu gagal.
Sebelum Pemerintah Kolonial Belanda mengirim ekspedisi maritimnya yang berpangkal di Makassar, mata-matanya lebih dulu menyelidiki kekuatan angkatan perang Raja Alam dengan sekutu-sekutunya. Dengan bantuan kaki tangannya penjajah melakukan politik adu domba.
Tahun 1822 seratus buah perahu perang dari Sulu dipimpin oleh Syarif Dakula menantu Raja Alam memperkuat benteng pertahanan di Batu Putih dan Dumaring.
Perlu diketahui tentang tuduhan Pemerintah Kolonial Belanda yang menyatakan bahwa Raja Alam melindungi perompak (bajak laut) bugis di wilayahnya. Dikarenakan pelaut-pelaut Bugis itu adalah kerabat dan pengikut-pengikut Pangeran Petta yang tak lain mertua Raja Alam yang sejak lama bermukim di daerah pantai Tanjung Mangkalihat seperti Biduk-biduk, Batu Putih, Talisayan dan lain-lain. Bahkan sejak Sultan Amiril Mukminin pada 1777-1800 ayah dari Raja Alam telah terjalin persahabatan dengan Petta To Rawe ayah dari Pangeran Petta yang menurut berita menuliskan Piagam Aksara Bugis pada Gerbang Istana Keraton Sambaliung yang sekarang masih ada.
Nilai-nilai kepahlawanan dan semangat jihad inilah yang diwarisi oleh Sultan Amiril Mukminin dan Raja Alam (Sultan Alimuddin) dari pendahulunya Raja Tumanggung Barani dan Sultan Zainal Abidin Marhum Muara Bangun.
Berdasarkan data-data yang dikemukakan oleh DR. Eisenberger, J.Grijzen, J.Hageman Joz, J.S Krom dan mata-matanya, Pemerintah Kolonial Belanda mempersiapkan armada lautnya sejak April 1834 di pangkalan angkatan lautnya di Makassar, kemudian baru diberangkatkan pada bulan September 1834. Angkatan perang Belanda ini dipimpin oleh seorang Kapten Laut Anemaet.
Setibanya di Batu Putih, armada Belanda memperingatkan dengan tembakan meriam kepada Raja Alam, Pangeran Bungkoh (putra Raja Alam), Syarif Dakula pimpinan pelaut Sulu juga Pangeran Petta pimpinan pelaut Bugis. Tetapi peringatan itu tidak dihiraukan sebab mereka sudah siap dan rela berkorban mempertahankan tanah airnya.
Meskipun kapal-kapal perang penjajah Belanda itu sudah menggunakan mesin uap, dilengakapi dengan persenjataan yang canggih, meriam besar, mereka memerlukan waktu sepuluh hari dimulai dari tanggal 17 s/d 27 September 1834 baru dapat merebut benteng Batu Putih dan Dumaring.
Selama 24 tahun Sultan Alimuddin (Raja Alam) membina pemerintahannya yang berpusat di Tanjung berhadapan dengan Belanda yang kuat, adalah merupakan prestasi yang perlu mendapat perhatian. Dalam kurun waktu itu beliau dapat mengumpulkan kekuatan yang cukup mengkhawatirkan Belanda. Hal ini membuat Belanda perlu melakukan perhitungan yang matang sekali sebelum melaksanakannya. Tidak banyak raja-raja yang dapat bertahan lama berhadapan dengan Belanda, apalagi peperangan diperairan laut, dapat dikatakan langka.
Dengan sumber daya alam berlimpah serta manusia pelaut yang terampil, Raja Alam dapat membangun dan memelihara angkatan laut yang kuat sehingga berani bertempur di lautan. Pelut-pelaut Bugis mempergunakan sejenis perahu perang “Binta” yang dapat bergerak cepat dan bersenjatakan meriam. Sungguh suatu prestasi yang jarang terjadi dalam perang perlawanan rakyat di Kalimantan.
Raja Alam tertangkap dalam peperangan, dibuang ke Makassar pada 1834-1837. Tanjung dan Batu Putih dinyatakan Gubernemen Belanda dibawah Kesultanan Gunung Tabur. Pelaksana tugasnya Pangeran Muda keluarga isteri Raja Alam dari Kutai. Kemudian Raja Alam dikembalikan ke Berau. Ia berdiam di Batu Putih karena istananya di Tanjung dihancurkan Belanda. Beliau tidak mau tunduk terhadap keputusan Gubernemen, supaya mengakui sebagai vazal Sultan Gunung Tabur. Akhirnya Gubernemen Belanda pada 1844 menetapkan Kesultanan Sambaliung berdiri sendiri. Pelaksana pemerintahan dilakukan oleh putranya yaitu Sultan Kaharuddin 1844-1848.
Raja Alam diakui oleh Kodam IX Mulawarman dalam bentuk dilestarikannya nama Raja Alam pada Yonif 613/ Raja Alam di Tarakan tanggal 20 Januari 1979 No./SKEP/07/3/1/78. Sebelum diusulkan menjadi pahlawan nasional Raja Alam terlebih dahulu sudah menerima Penganugrahan Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama lewat SK Presiden nomor 77/TK/Tgl 13 Agustus 1999 di Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda.
Wisata Sejarah Keraton Sambaliung
Photo saat pembangunan bagian depan Keraton Sambaliung sekitar thn 1930-an. Keraton Sambaliung dibangun dengan bentuk arsitektur bangunan Cina. Berbahan kayu ulin yang kuat dan kokoh hingga saat ini masih utuh berdiri tegak menghadap sungai Kelay sebagai satu-satunya keraton yang masih tersisa di Kabupaten Berau. Dulu ada dua keraton di Berau yaitu keraton Sambaliung dan keraton Gunung Tabur. Namun sejak terjadi insiden pengeboman tahun 1945 pada siang hari oleh sekutu terhadap kedua keraton maka keraton Gunung Tabur hancur dan terbakar rata dengan tanah akibat serangan bom sekutu tsb. Beruntung keraton Sambaliung masih tetap utuh berdiri hingga detik ini walaupun tak luput juga dari serangan bom sekutu. Di atas tanah bekas keraton Gunung Tabur dibangunkan Pemda Berau sebuah museum yg bernama Museum Batiwakkal yang bentuknya menyerupai bangunan keraton Gunung Tabur yang dulu.
DESTINASI WISATA BUDAYA KERATON SAMBALIUNG
Tata cara mengenakan pakaian adat pengantin Ampik Salayang dari Kesultanan Sambaliung versi modifikasi
Tata cara menggunakan pakaian adat pengantin "Ampik Salayang" yang dalam bahasa Indonesia artinya kain selembar. Pakaian ini hanya dikenakan oleh para kerabat / bangsawan keturunan Kesultanan Sambaliung saat melangsungkan pernikahan. Pakaian adat pengantin ampik salayang untuk pertama kalinya dikenakan oleh cucu Sultan Alimuddin/Raja Alam yaitu Pangian Bungsu. Pakaian ini mengandung makna filosofi yang kuat dari pertama kali dibuat. Makanya hanya Kesultanan Sambaliung yang memiliki ampik salayang ini. Karena Kesultanan Gunung Tabur punya pakaian adat sendiri yaitu kahar suhung, pangeran diulu dan busana raden yang mirip dengan pakaian jawa. Tidak benar dan salah besar kalau ampik salayang hanya dikenakan untuk perkawinan warga yang bukan keturunan bangsawan seperti yang dikatakan Aji Halida Ayoeb (Liddak) dalam wawancaranya dengan melayu online saat mewakili Berau mengikuti Jambore Pendidik dan Tenaga Kependidikan Non Formal di Samarinda beberapa tahun silam.