Minggu, 31 Januari 2016

Nama anak-anak Sultan Muhammad Aminuddin


Ini adalah nama anak-anak Sultan Muhammad Aminuddin (Sultan terakhir di Kesultanan Sambaliung ) salah satu nama dari urutan tersebut terdapat nama ayahanda ku Datu Fachruddin.  Beliau adalah Pemangku Kesultanan Sambaliung yang pertama ketika awal tahun 2003 s/d 2013 sudah mulai mengikuti kegiatan FSKN (FORUM SILATURAHMI KERATON NUSANTARA ) diberbagai daerah di Indonesia yang bertujuan mengapresiasi para anak-anak Sultan sebagai penghargaan atas apa yang telah dilakukan oleh Sultan-Sultan terdahulu dengan mempererat tali persaudaraan antar sesama kerabat Kesultanan yang ada diseluruh tanah air. Karena kehadiran Indonesia dibumi pertiwi ini sangat erat kaitannya dengan perlawanan para Raja/Sultan kepada penjajah di seluruh daerah yang tersebar diberbagai tempat. Inilah makna dari suatu keagungan akan kekerabatan. Jejak langkah ayahanda Datu Fachruddin melestarikan budaya tertanam dalam semangatku sejak awal pertama ikut FSKN di Solo tahun 2006 hingga 2013 akhir dari jabatan beliau. Kedudukan sebagai Pemangku Kesultanan Sambaliung sekarang dilaksanakan oleh adiknya yaitu Datu Amir. Sekarang ini banyak pemilik blog, sosial media yang dikelola berkaitan dengan informasi Kesultanan Sambaliung & Gunung Tabur isinya tidak valid dan tidak ada legitimasi dari pihak kerabat dekat Kesultanan. Padahal anak-anak Sultan yang notabene tahu persis sejarahnya sendiri tidak pernah dikonfirmasi. Mereka memuat informasi yang salah dan mengarah kepada pembohongan  publik sehingga masyarakat dibuat bingung.

Sabtu, 30 Januari 2016

SULTAN ALIMUDDIN(RAJA ALAM) MENGUKIR SEJARAH DI TANAH BERAU MELAWAN KOLONIAL BELANDA

Raja Alam merupakan gelar yang biasa disebut kepada Sultan Alimuddin sebagai Sultan Sambaliung pertama (1810-1834) generasi ke XIII dari Aji Suryanata Kesuma Raja Berau pertama (1377-1401) dan putra dari Sultan Amiril Mukminin Raja Berau ke XVII. Inti dari kerajaan Berau dibagi menjadi dua yaitu Tanjung dan Batu Putih diperintah oleh Raja Alam turunan Pangeran Tua dan Sultan Aji Kuning II (Gunung Tabur) turunan Pangeran Dipati wilayahnya Merancang, Bulalung dan Bunyut. Raja Alam mendirikan Ibu Kota Kerajaan dan Pemerintahan tersendiri berpisah dari Kerajaan Berau dengan nama Kerajaan Tanjung pada tahun 1810. Tanjung yang dijadikan Ibu Kota Kerajaan dulunya kampung Gayam dan Karang Embun sisa-sisa kampung Nagri Swakung dengan kepala Nagrinya bernama Si Patungut gelar Kahar Janggi dan wakilnya Si Balaman gelar Kahar Pahlawan.
Secara beramai-ramai dan gotong-royong Raja Alam bersama rakyatnya membangun istana kediamannya. Pendukung-pendukungnya ialah turunan Maharaja Laila saudara neneknya yaitu Sultan Hasanuddin Marhum di Kuran, mertuanya Pangeran Petta turunan Raja Paniki, Panglima La Ma’du Daeng Palawa turunannya Panglima Lambuto yang mendirikan kampung Bugis di Tanjung Redeb.

Dari keluarganya di kepulauan Sulu / Solok daerah Mindanao Selatan, Raja Alam mendapat bantuan menantunya dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda bernama Syarif Dakula yang menikah dengan putrinya yaitu Pangian Ratu Ammas Mira. Sebelumnya kakek dari Raja Alam sendiri yang bernama Sultan Hasanuddin (1676-1700) merupakan Raja Berau ke XIII menikah dengan Dayang Lana seorang putri dari Kerajaan Sulu (Mindanao Selatan).
Untuk menghadapi ancaman dari Pemerintah Kolonial Belanda yang telah melakukan serbuan terhadap raja-raja Sulawesi Selatan pada tahun 1824, Raja Alam bersiap-siap dengan mendirikan kubu-kubu pertahanan di Dumaring dan Batu Putih di daerah Tanjung Mangkalihat.
Kolonial Belanda tidak berhasil melaksanakan system monopoli dagang dan tidak sebuah pun loji atau perwakilan dagang mereka dirikan di Kalimantan Timur, meskipun empat kali kompeni mencoba mengirimkan misi perdagangan mendekati raja-raja di daerah itu tetapi selalu gagal.
Sebelum Pemerintah Kolonial Belanda mengirim ekspedisi maritimnya yang berpangkal di Makassar, mata-matanya lebih dulu menyelidiki kekuatan angkatan perang Raja Alam dengan sekutu-sekutunya. Dengan bantuan kaki tangannya penjajah melakukan politik adu domba.
Tahun 1822 seratus buah perahu perang dari Sulu dipimpin oleh Syarif Dakula menantu Raja Alam memperkuat benteng pertahanan di Batu Putih dan Dumaring.

Perlu diketahui tentang tuduhan Pemerintah Kolonial Belanda yang menyatakan bahwa Raja Alam melindungi perompak (bajak laut) bugis di wilayahnya. Dikarenakan pelaut-pelaut Bugis itu adalah kerabat dan pengikut-pengikut Pangeran Petta yang tak lain mertua Raja Alam yang sejak lama bermukim di daerah pantai Tanjung Mangkalihat seperti Biduk-biduk, Batu Putih, Talisayan dan lain-lain. Bahkan sejak Sultan Amiril Mukminin pada 1777-1800 ayah dari Raja Alam telah terjalin persahabatan dengan Petta To Rawe ayah dari Pangeran Petta yang menurut berita menuliskan Piagam Aksara Bugis pada Gerbang Istana Keraton Sambaliung yang sekarang masih ada.

Nilai-nilai kepahlawanan dan semangat jihad inilah yang diwarisi oleh Sultan Amiril Mukminin dan Raja Alam (Sultan Alimuddin) dari pendahulunya Raja Tumanggung Barani dan Sultan Zainal Abidin Marhum Muara Bangun.
Berdasarkan data-data yang dikemukakan oleh DR. Eisenberger, J.Grijzen, J.Hageman Joz, J.S Krom dan mata-matanya, Pemerintah Kolonial Belanda mempersiapkan armada lautnya sejak April 1834 di pangkalan angkatan lautnya di Makassar, kemudian baru diberangkatkan pada bulan September 1834. Angkatan perang Belanda ini dipimpin oleh seorang Kapten Laut Anemaet.

Setibanya di Batu Putih, armada Belanda memperingatkan dengan tembakan meriam kepada Raja Alam, Pangeran Bungkoh (putra Raja Alam), Syarif Dakula pimpinan pelaut Sulu juga Pangeran Petta pimpinan pelaut Bugis. Tetapi peringatan itu tidak dihiraukan sebab mereka sudah siap dan rela berkorban mempertahankan tanah airnya.
Meskipun kapal-kapal perang penjajah Belanda itu sudah menggunakan mesin uap, dilengakapi dengan persenjataan yang canggih, meriam besar, mereka memerlukan waktu sepuluh hari dimulai dari tanggal 17 s/d 27 September 1834  baru dapat merebut benteng Batu Putih dan Dumaring.

Selama 24 tahun Sultan Alimuddin (Raja Alam) membina pemerintahannya yang berpusat di Tanjung berhadapan dengan Belanda yang kuat, adalah merupakan prestasi yang perlu mendapat perhatian. Dalam kurun waktu itu beliau dapat mengumpulkan kekuatan yang cukup mengkhawatirkan Belanda. Hal ini membuat Belanda perlu melakukan perhitungan yang matang sekali sebelum melaksanakannya. Tidak banyak raja-raja yang dapat bertahan lama berhadapan dengan Belanda, apalagi peperangan diperairan laut, dapat dikatakan langka.
Dengan sumber daya alam berlimpah serta manusia pelaut yang terampil, Raja Alam dapat membangun dan memelihara angkatan laut yang kuat sehingga berani bertempur di lautan. Pelut-pelaut Bugis mempergunakan sejenis perahu perang “Binta” yang dapat bergerak cepat dan bersenjatakan meriam. Sungguh suatu prestasi yang jarang terjadi dalam perang perlawanan rakyat di Kalimantan.

Raja Alam tertangkap dalam peperangan, dibuang ke Makassar pada 1834-1837. Tanjung dan Batu Putih dinyatakan Gubernemen Belanda dibawah Kesultanan Gunung Tabur. Pelaksana tugasnya Pangeran Muda keluarga isteri Raja Alam dari Kutai. Kemudian Raja Alam dikembalikan ke Berau. Ia berdiam di Batu Putih karena istananya di Tanjung dihancurkan Belanda. Beliau tidak mau tunduk terhadap keputusan Gubernemen, supaya mengakui sebagai vazal Sultan Gunung Tabur. Akhirnya Gubernemen Belanda pada 1844 menetapkan Kesultanan Sambaliung berdiri sendiri. Pelaksana pemerintahan dilakukan oleh putranya yaitu Sultan Kaharuddin 1844-1848.

Raja Alam diakui oleh Kodam IX Mulawarman dalam bentuk dilestarikannya nama Raja Alam pada Yonif 613/ Raja Alam di Tarakan tanggal 20 Januari 1979 No./SKEP/07/3/1/78. Sebelum diusulkan menjadi pahlawan nasional Raja Alam terlebih dahulu sudah menerima Penganugrahan Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama lewat SK Presiden nomor 77/TK/Tgl 13 Agustus 1999 di Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda.

Wisata Sejarah Keraton Sambaliung

Photo saat pembangunan bagian depan Keraton Sambaliung sekitar thn 1930-an. Keraton Sambaliung dibangun dengan bentuk arsitektur bangunan Cina. Berbahan kayu ulin yang kuat dan kokoh hingga saat ini masih utuh berdiri tegak menghadap sungai Kelay sebagai satu-satunya keraton yang masih tersisa di Kabupaten Berau. Dulu ada dua keraton di Berau yaitu keraton Sambaliung dan keraton Gunung Tabur. Namun sejak terjadi insiden pengeboman tahun 1945 pada siang hari oleh sekutu terhadap kedua keraton maka keraton Gunung Tabur hancur dan terbakar rata dengan tanah akibat serangan bom sekutu tsb. Beruntung keraton Sambaliung masih tetap utuh berdiri hingga detik ini walaupun tak luput juga dari serangan bom sekutu. Di atas tanah bekas keraton Gunung Tabur dibangunkan Pemda Berau sebuah museum yg bernama Museum Batiwakkal yang bentuknya menyerupai bangunan keraton Gunung Tabur yang dulu.

DESTINASI WISATA BUDAYA KERATON SAMBALIUNG

Destinasi Wisata Budaya
Ini adalah anak-anak pemegang lilin atau dalam bahasa Banua (suku Berau) disebut juga "penggaman dian" ketika akad nikah berlangsung di Kesultanan Sambaliung. Anak-anak ini pendamping pengantin saat akad nikah dilaksanakan.Tradisi memegang lilin ini masuk dalam tata cara melaksanakan adat pernikahan khususnya dikalangan kerabat Keraton Sambaliung. Pelaminan didominasi warna kuning keemasan dengan hiasan "kida-kida" diatas kain pelaminan/dinding kain pelaminan. Kida-kida sendiri adalah sebuah lempengan kuningan yang dibentuk seperti hiasan bunga dan ditempel atau digantung pada dinding kain atau pelaminan.





Tata cara mengenakan pakaian adat pengantin Ampik Salayang dari Kesultanan Sambaliung versi modifikasi

Tata cara menggunakan pakaian adat pengantin "Ampik Salayang" yang dalam bahasa Indonesia artinya kain selembar. Pakaian ini hanya dikenakan oleh para kerabat / bangsawan keturunan Kesultanan Sambaliung saat melangsungkan pernikahan. Pakaian adat pengantin ampik salayang untuk pertama kalinya dikenakan oleh cucu Sultan Alimuddin/Raja Alam yaitu Pangian Bungsu. Pakaian ini mengandung makna filosofi yang kuat dari pertama kali dibuat. Makanya hanya Kesultanan Sambaliung yang memiliki ampik salayang ini. Karena Kesultanan Gunung Tabur punya pakaian adat sendiri yaitu kahar suhung, pangeran diulu dan busana raden yang mirip dengan pakaian jawa. Tidak benar dan salah besar kalau ampik salayang hanya dikenakan untuk perkawinan warga yang bukan keturunan bangsawan seperti yang dikatakan Aji Halida Ayoeb (Liddak) dalam wawancaranya dengan melayu online saat mewakili Berau mengikuti Jambore Pendidik dan Tenaga Kependidikan Non Formal di Samarinda beberapa tahun silam.